(Ditulis oleh PIDIYANTI, mahasiswa S1 Kebidanan Universitas Indonesia Maju)
WHO melaporkan bahwa 450 juta orang di seluruh dunia memiliki gangguan kesehatan mental, dengan prevalensi 20% kejadian terjadi pada anak-anak. Dengan angka kejadian yang meningkat setiap tahunnya, memperluas pengetahuan terkait kesehatan mental pada anak dan remaja menjadi hal yang penting. Kesehatan mental anak dan remaja dapat mempengaruhi masa depan dirinya sendiri sebagai individu, dan berdampak pada keluarga hingga masyarakat. Oleh karenanya, kekhawatiran ini berkembang baik untuk institusi kesehatan dan peneliti akademis.
Memahami kesehatan mental pada anak dan remaja artinya perlu memahami juga faktor-faktor apa saja yang dapat membahayakan kesehatan mental (risk factor) dan faktor- faktor apa saja yang dapat melindungi kesehatan mental (protective factor) anak. Risk factor menimbulkan kemungkinan kerentanan dalam diri anak, sedangkan protective factor menimbulkan kemungkinan kekuatan dalam diri anak. Semakin banyak risk factor, maka semakin besar tekanan pada anak. Di sisi lain, semakin banyak protective factor, maka besar kemungkinan anak untuk dapat terhindar dari gangguan. Risk factor merupakan faktor yang dapat memunculkan kerentanan terhadap distress. Artinya, ketidakmampuan menyesuaikan diri dapat dikarenakan adanya kondisi-kondisi yang menekan, seperti anak yang tumbuh pada keluarga yang memiliki status ekonomi rendah, tumbuh di lingkungan penuh kekerasan dan adanya pengalaman trauma.
Kesehatan mental yang baik bukan hanya dilihat dari tidak adanya masalah kesehatan mental yang didiagnosis, melainkan berhubungan dengan well-being seseorang. Well-being adalah sebuah konsep yang lebih luas dibanding kesehatan mental. Walaupun begitu, keduanya memiliki keterkaitan. Gangguan yang terjadi pada kesehatan mental anak dapat memberikan dampak pada keseluruhan well-being anak, sebaliknya well-being yang buruk dalam bentuk apapun dapat menjadi resiko terhadap kesehatan mental.
Masa anak dan remaja yang masih erat kaitannya dengan masa perkembangan membuat adanya kesulitan dalam melakukan diagnosis dan memberikan perlakuan (Remschmidt, et al., 2007). Kesulitan ini muncul karena tidak ada garis yang jelas dalam membedakan perkembangan yang normal dan abnormal. Kesehatan mental melibatkan lebih dari masalah medis. Banyak faktor yang memengaruhi, seperti adanya faktor sosial ekonomi. Masalah kesehatan mental dapat muncul di berbagai area mulai dari ranah individu seperti penyalahgunaan zat, kejahatan, kekerasan, kehilangan produktivitas hingga bunuh diri.
Perkembangan Kesehatan Mental pada Anak dan Remaja
Kesehatan mental pada anak dan remaja juga melibatkan kapasitasnya untuk dapat berkembang dalam berbagai area seperti biologis, kognitif dan sosial-emosional (Remschmidt, et al., 2007). Oleh karenanya, penting bagi kita memahami tahapan perkembangan sebagai upaya untuk melihat adanya indikasi permasalahan pada perkembangan anak dan remaja. Anak yang memiliki kesehatan mental memiliki ciri-ciri yang dapat kita amati dari proses perkembangannya.
- Proses Biologis
Proses biologis pada anak melibatkan terjadinya perubahan fisik pada tubuh anak. Perkembangan fungsi-fungsi tubuh seperti fungsi seksual akan memengaruhi perilaku dan perkembangan anak. Beberapa contohnya adalah gen yang diwarisi dari orang tua, perkembangan otak, tinggi badan dan kenaikan berat badan, kemajuan dalam keterampilan motorik serta perubahan hormonal. Anak perlu mendapatkan nutrisi yang cukup untuk perkembangan dan pertumbuhan fisiknya. Mereka perlu ruang dan waktu untuk bermain dengan aman. Dengan melakukan aktivitas bermain dan aktivitas belajar, anak melatih dirinya untuk mengembangkan kemampuan koordinasi tubuhnya. Anak yang sehat mental dapat melakukan aktivitas yang produktif seperti bermain dan belajar sesuai dengan kapasitas intelektual dan usianya. - Proses Kognitif
Proses kognitif melibatkan perubahan dalam cara berpikir individu dan kecerdasan seseorang. Proses ini sangat erat kaitannya dengan perkembangan otak. Anak yang sehat mental dan memiliki perkembangan kognitif yang memadai memunculkan kemauan untuk mempelajari hal baru di sekitarnya, memiliki kreativitas, dan kemampuan bahasanya pun berkembang. Proses ini lalu berkembang sampai pada kemampuan anak untuk mampu membedakan hal-hal yang dianggap benar dan salah, menghafal, memecahkan masalah sederhana, memilih dan mengambil keputusan, serta mengendalikan dirinya. - Proses Sosial-Emosional
Proses sosial-emosional melibatkan perubahan emosi, kepribadian, hubungan dengan orang lain dan lingkungan sosial. Proses sosial- emosional yang berkembang dengan baik membuat anak mampu menyadari, membedakan, mengelola serta mengekspresikan emosi secara tepat. Seiring perkembangannya, anak perlu untuk menjadi sadar akan adanya orang lain dan berusaha menumbuhkan empatinya terhadap orang lain. Di lingkungan, anak memiliki kemampuan untuk masuk dan menjalin hubungan serta mempertahankan hubungan tersebut. Anak yang sehat mental memiliki kedekatan dalam hubungan dan mampu merasa aman berada di lingkungan.
Untuk mengetahui kesehatan mental anak, penting untuk melihat faktor dalam diri anak, keluarga dan lingkungan. Faktor dalam diri anak seperti faktor genetik, temperamen, dan kesehatan fisik perlu diamati. Faktor dari keluarga meliputi pola asuh orang tua serta kelekatan anak terhadap orang tua. Teori kelekatan (attachment) dari John Bowlby (1969) memperlihatkan bahwa anak-anak perlu membangun ikatan yang aman dengan pengasuh utama mereka di masa kecil. Ikatan yang aman ini penting untuk membangun kepercayaan dan rasa aman. Dengan adanya kedua hal tersebut, mereka dapat belajar dan melakukan eksplorasi terhadap dunia di sekitar mereka dengan percaya diri dan tanpa ketakutan yang berlebihan. Pola asuh orang tua sangat berpengaruh terhadap rasa aman anak. Adanya peraturan yang berlebihan, tuntutan yang tidak realistis, kebebasan tanpa batasan aturan, dan pola komunikasi yang tidak didasari oleh alasan-alasan mengapa pesan tersebut harus dilaksanakan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kesehatan mental anak.
Berbeda dengan masa anak, masa remaja adalah periode permulaan (onset) untuk adanya berbagai perilaku dan kondisi yang memengaruhi kesehatan dan juga dapat menyebabkan gangguan pada masa dewasa. Adanya masa pubertas merupakan salah satu tantangan bagi remaja. Pubertas mengacu pada masa transisi perkembangan yang ditandai dengan perubahan biologis yang mengakibatkan kematangan dari segi fisik dan seksual. Kadar hormon selama masa pubertas dapat mempengaruhi respons stress dalam tubuh dan otak. Faktor lain yang juga penting adalah pengaruh peer (teman sebaya) yang dapat membuat anak perlu mengembangkan kemampuan terkait penyesuaian diri dan regulasi diri. Ketika remaja merasa diterima di lingkungan pertemanannya dan tidak membandingkan diri secara berlebihan, hal ini mampu membuat mereka merasa aman di lingkungan. Mental illness seperti gangguan kepribadian serta emosi banyak dimulai di masa ini. Perilaku-perilaku tidak sehat seperti merokok, minum minuman keras dan penggunaan obat-obatan terlarang sering dimulai pada masa remaja dan berhubungan erat dengan peningkatan masalah hingga kematian yang merupakan tantangan utama dalam kesehatan.
Kesadaran atas pentingnya kesehatan mental saat ini selalu ditanamkan oleh WHO. WHO Child and Adolescent Mental Health Atlas merupakan salah satu upaya sistematis pertama untuk mengumpulkan data dan mendokumentasikan secara objektif layanan global dan pelatihan yang tersedia di seluruh dunia untuk kesehatan mental anak dan remaja (WHO, 2001c). Inisiatif ini berfokus pada tiga bidang utama, yaitu kesadaran (awareness), pencegahan (prevention) dan perlakuan (treatment).
Indikasi Awal yang Mengarah pada Gangguan Kesehatan Mental
Meskipun masalah kesehatan mental saat ini banyak ditemui mengganggu orang dewasa seperti depresi, kecemasan, gangguan makan, dan psikosis, namun banyak masalah kesehatan mental tersebut yang sudah memunculkan gejala atau hambatan saat masih anak- anak dan remaja (O’Reilly, 2015). Terdapat pula gangguan yang memiliki dasar neurologis yang jelas, seperti Autism Spectrum Disorder (ASD), Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD), gangguang tic, learning disabilities dan lainnya. Kondisi ini hadir dengan berbagai kesulitan yang biasanya hadir dari masa anak-anak yang sangat dini dan memengaruhi perkembangan anak dalam cara-cara tertentu.
Masalah kesehatan mental anak dan remaja dapat diamati dari adanya permasalahan pada tahapan perkembangan pada tiga area besar, yaitu area emosi, perilaku dan perkembangan.
- Emosi
Berbicara tentang emosi erat kaitannya dengan kemampuan menilai serta menyadari emosi yang dimiliki, membedakan emosi yang dirasakan, mengelola emosi, serta mengekspresikan emosi. Anak yang selalu merasa sedih, mudah murung dan merasa kurang bahagia memiliki kemungkinan mengalami permasalahan kesehatan mental. Mereka akan mermiliki banyak kekhawatiran dan kecemasan yang membuat anak tidak berani melakukan eksplorasi. Ketika mengekspresikan emosinya, anak lebih memilih menangis berlebihan, berteriak berlebihan ataupun mengalami tantrum. Anak perlu diperkenalkan dan dibimbing untuk dapat memahami serta mengekspresikan emosinya dengan cara yang sesuai. - Perilaku
Dalam mengamati permasalahan perilaku pada anak, penting untuk mengingat proses pembentukan perilaku berdasarkan pendekatan behavioristik. Pendekatan ini memiliki prinsip dimana gangguan perilaku terjadi karena adanya pengalaman salah belajar. Salah belajar disini memiliki dua arti, yaitu anak mempelajari dengan benar contoh perilaku yang tidak baik, atau anak mempelajari dengan salah contoh perilaku yang baik. Adanya masalah perilaku pada anak dapat dideteksi dari aktivitas yang ia lakukan setiap hari, seperti aktivitas tidur, makan, dan bermain. Beberapa contohnya adalah anak yang selalu sulit untuk bangun tidur, memiliki pola tidur bermasalah, mengalami gangguan makan, berbohong dan mudah menyalahkan orang lain untuk kesalahannya, serta melanggar aturan dapat menjadi indikasi masalah. - Perkembangan
Adanya masalah perkembangan sangat terkait dengan tahapan perkembangan anak. Beberapa permasalahan terkait perkembangan dapat dilihat dari faktor kognisi dan juga atensi. Faktor kognisi terkait dengan permasalahan kecerdasan dan juga kesulitan belajar. Atensi adalah fokus dari sumber daya mental. Atensi meningkatkan proses kognitif untuk banyak tugas, mulai dari meraih mainan, memukul bola, hingga menari. Anak-anak memiliki rentang atensi yang terbatas, artinya hanya sejumlah informasi yang mampu mereka perhatikan. Atensi akan berkembang seiring dengan usia dan aktivitas anak. Kesulitan anak memusatkan perhatian pada tugas, anak yang gelisah, tidak bisa diam, mudah teralihkan perhatiannya menjadi indikasi masalah kesehatan mental.
Masalah-masalah seperti yang telah dijelaskan di atas dapat menjadi indikasi awal yang mengarah pada gangguan kesehatan mental apabila hal ini konsisten dinampakkan anak. Oleh karenanya, menjadi tugas bagi orang tua atau caregiver untuk dapat mendeteksi sedari dini permasalahan ini supaya tidak berkembang menjadi gangguan.
Upaya Pemberian Dukungan Kesehatan Mental
Kualitas kesehatan mental individu pada masa anak-anak memengaruhi kesehatan mental mereka di masa dewasa. Melakukan promosi terhadap kesehatan mental anak dan remaja artinya meningkatkan kesehatan mental masyarakat di masa depan secara keseluruhan. Upaya pemberian dukungan pada kesehatan mental dapat dilakukan melalui tiga cara, yaitu promosi, prevensi, dan intervensi (kurasi). Merancang upaya dukungan terhadap kesehatan mental pun perlu dilakukan secara sistemik dan melibatkan berbagai pihak, mulai dari orang tua (keluarga), guru atau pihak sekolah, komunitas, serta pemerintah.
Promosi kesehatan mental bertujuan untuk mempromosikan kesehatan mental yang positif. Cara yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatan kesejahteraan psikologis, kompetensi, ketahanan manusia, serta menciptakan kondisi dan lingkungan hidup yang mendukung (WHO, 2002). Promosi kesehatan mental dapat dilakukan dengan mengumpulkan data terkait insidensi gangguan tersebut supaya masyarakat meningkat kesadarannya dan mendapat pengetahuan terkait permasalahan. Selain itu, tindakan pemeliharaan lingkungan hidup seperti pemeliharaan kesehatan dan kebugaran badan, pemeliharaan masa kehamilan khususnya pada masa prenatal dan pascanatal serta gizi makanan penting dilakukan. Perubahan gaya hidup seperti nutrisi yang baik, olahraga dan tidur yang cukup dapat mendukung kesehatan mental.
Prevensi kesehatan mental berfokus pada mengurangi risk factor dan meningkatkan protective factor yang terkait dengan kesehatan mental. Deteksi dini dan mengenalkan bagaimana penanganan perilaku maladaptif dalam keluarga dan komunitas menjadi fokus yang sering dilakukan dalam tindakan prevensi. Prevensi dan promosi seringkali hadir dalam program dan strategi yang sama. Walaupun begitu, hasil yang didapat berbeda namun saling melengkapi. Untuk itu, promosi dan prevensi harus dipahami sebagai pendekatan konseptual yang berbeda tetapi saling terkait.
Intervensi umum digunakan dalam menjelaskan berbagai macam tindakan yang dimaksudkan untuk memberikan kesembuhan atau meningkatkan penyesuaian diri. Intervensi pun dapat dilakukan pada setiap pihak seperti intervensi individual, intervensi berbasis keluarga (family-based intervention), intervensi sekolah (school-based intervention), serta intervensi pada komunitas (community-based interventions). Intervensi individual biasanya berupa konseling atau psikoterapi. Psikoterapi pun memiliki banyak jenis tergantung pendekatan yang akan digunakan, seperti terapi perilaku, terapi kognitif, terapi humanistik serta terapi psikodinamik.
Dalam memilih dan merancang intervensi yang tepat, kita perlu memiliki beberapa pertimbangan seperti apa saja gejala yang muncul dan seberapa parah gejalanya dan seberapa banyak gejala ini menyebabkan distress dan memengaruhi kehidupan sehari-hari. Pemahaman terkait resiko dan manfaat dari intervensi tersebut untuk individu dan faktor kepribadian serta kebutuhan individu lainnya pun perlu dijadikan pertimbangan.
Dalam merancang rencana kesehatan mental anak dan remaja, penting untuk memperhatikan tahapan perkembangan anak serta mempertimbangkan faktor perbedaan budaya yang dapat memengaruhi perkembangan tahapan tersebut. Misalnya ketika ingin merancang intervensi terkait kesehatan mental pada remaja. Apabila masyarakat memandang bahwa remaja masih dalam periode ketergantungan yang berkelanjutan pada orang tua, maka kita perlu mempertimbangkan peran penting orang tua dalam mengidentifikasi, mengevaluasi serta menyetujui intervensi yang diberikan.
Orang tua dapat memulai dengan memberikan nutrisi yang cukup pada anak, kesempatan pada anak untuk belajar baik sendiri maupun bersama teman, serta waktu untuk bermain yang akan meningkatkan kualitas hidup anak sedari dini. Pemberian pola pengasuhan yang memberikan rasa aman, adanya kedekatan terhadap seluruh anggota keluarga dan komunikasi yang terjalin dengan baik membuat keluarga menjadi sebuah sistem yang memiliki fungsi optimal pada pertumbuhan dan perkembangan anak. Pemerintah dapat memberikan kebijakan terkait perlindungan serta peningkatan kualitas hidup, seperti meningkatkan pemberian dan penyebaran makanan yang bernutrisi, hunian rumah yang nyaman serta akses untuk mendapat pendidikan yang memadai. Hal tersebut tentu berkaitan pula dengan kondisi perekonomian serta jaringan komunitas yang ada.
Sangat bermanfaat